Sukses

Sang Bissu Muda

Para bissu yang masih tersisa hingga saat ini adalah generasi terakhir pewaris tradisi Bugis klasik. Dan, Muharom yang kini berusia 17 tahun merupakan adalah bissu termuda di abad modern ini.

Liputan6.com, Pangkajene: Masyarakat Suku Bugis mengenal lima jenis kelamin, yakni lelaki, perempuan, lelaki yang berpenampilan perempuan, perempuan berpenampilan lelaki, serta bissu. Jenis kelamin yang disebutkan terakhir berasal dari golongan waria setelah mereka mengikuti upacara mapareba.

Salah seorang bissu muda Suku Bugis adalah Muharom alias Hasna. Bissu ini merangkap sebagai dukun peramal, berbiacara dengan dewa. dan pemimpin upacara adat. Namun fungsi sebagai dukun cukup kental sehingga banyak warga sering berdatangan ke rumag seorang bissu. Warga meminta doa atau berkah termasuk solusi tentang suatu masalah.

Muharom terlahir sebagai pria, tapi prilaku sehari-harinya cenderung seperti wanita. Bahkan sejak kecil dia memelihatra rambut panjang dan berpakaian perempuan. Dia juga tak pernah sakit hati dengan julukan waria oleh orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Namun kini, sudah tak lagi yang mengejeknya karena telah menjadi bissu.

Menurut Muharom, keinginan menjadi bissu datang lewat mimpi. Dalam mimpi itu, waria berusia 17 tahun ini bertemu dengan lelaki tua yang memintanya menjadi seorang bissu. Waria berambut panjang ini menilai mimpi tersebut bukan hanya sekadar kembang tidur tapi petunjuk dari Sang Dewata yang akan mengubah garis hidupnya.

Sebelum dilantik menjadi bissu dia diwajibkan berpuasa selama sepekan hingga 40 hari. Setelah itu, bernazar mattinja` untuk menjalani irebba selama beberapa hari, biasanya tiga atau tujuh hari. Lalu dia dimandikan, dikafani, dan dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung sebuah guci berisi air.

Bissu dihargai oleh masyarakat Bugis karena memiliki banyak kelebihan dan pengetahuan serta menguasai seluk-beluk adat-istiadat, silsilah keluarga. Masyarakat, terutama kalangan kerajaan, meminta berbagai petunjuk, pertolongan, ataupun berobat dan berguru kepada kaum bissu.

Keberadaan bissu memang erat kaitannya dengan kerajaan. Kedudukan datu atau raja tidak sempurna tanpa kehadiran bissu. Para bissu berperan sebagai penasihat. Sebagai pelaksana dalam ritual kerajaan, bissu menentukan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti turun ke sawah atau membangun rumah.

Saat berkomunikasi dengan Dewata atau di antara mereka, bissu menggunakan bahasa sendiri yang disebut basa torilangi (bahasa orang langit). Para bissu meyakini bahasa itu diturunkan dari langit melalui Dewata. Bahasanya memiliki kesamaan dengan bahasa yang digunakan dalam syair klasik bugis.

Setelah menjadi bissu Muharom diminta untuk menghilangkan simbol-simbol perempuan yang melekat pada dirinya. Hal ini untuk menjaga kesaktiannya dan tidak boleh memelihara nafsu terhadap lawan jenis. Simbol perempuan Muharom diganti dengan bahasa puji-pujian yang bisa mendekatkannya dengan Dewata.

Sebelum menjadi bissu, Muharom sempat jatuh hati kepada seorang lelaki. Bahkan dia pernah menyatakan perasaannya itu kepada sang pujaan. Kini nafsu itu telah hilang dalam diri Muharom karena dia telah bertekad menjadi bissu.  Muharom pun saat ini sudah mendapat tempat di tengah masyarakat.

Muharom mengaku tidak sedikitpun terpikir dalam benaknya menjadi penolong banyak orang serta berbuat baik kepada siapa pun. Yang ada dipikirannya adalah kalau dirinya adalah waria. Sebagai seorang bissu, Muharom pun kerap diundang ketika acara pernikahan warga di sekitar tempat tinggalnya.

Namun karena usianya yang masih muda, Muharom masih dibimbing oleh bissu senior. Salah satu keahlian Muharom adalah merias pengantin. Warga setempat menilai hasil riasan para bissu lebih bersinar. Maklumlah, para bissu mempunyai kekuatan magis untuk memikat orang lain dikenal dengan cenning rara.

Selain merias, Muharom sudah dapat menari Maggiri. Dalam tarian ini, Muharom bergabung dengan bissu lainnya. Sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai papan rumah panggung, dia menusuk-nusukkan keris ke telapak tangannya. Tak hanya itu dia juga menusukkan keris ke lehernya. Tak ada luka sedikit pun, apalagi tetesan darah.

Tari spiritual kaum bissu ini yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para bissu, dan sampai hari ini masih bertahan. Kesaktian para waria Bugis itu bukan hanya terlihat saat maggiri melainkan dalam kehidupan sehari-hari.

Para bissu yang masih tersisa hingga saat ini adalah generasi terakhir pewaris tradisi Bugis klasik. Komunitas bissu sudah tercerai-berai. Jumlah dan kualitasnya pun semakin menyusut dari hari ke hari. Dan Muharom adalah bissu termuda di abad modern yang menjadi bukti hidup peradaban Bugis kuno.(JUM/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini