Sukses

Orangutan di Kebun Kelapa Sawit

Pembukaan kebun-kebun kelapa sawit di kawasan Danau Sembuluh, Sampit membuat habitat orangutan tersingkir. Para buruh perkebunan beramai-ramai membantai orangutan karena dinilai mengganggu kelangsungan usaha sawit sang majikan.

Liputan6.com, Palangkaraya: Cerita nyata tentang Pulau Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Dan, waktu membuktikan, wajah suci ketiganya membuat manusia di dekatnya bisa merasakan kenikmatan hidup. Di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya. Bocah-bocah masih dapat bermain di atas sungai-sungai yang bening dengan penuh keceriaan.

Jauh menembus ke dalam, di antara pohon-pohon Hutan Pulau Kajja, Pitun, Mega, dan sekawanan orangutan juga masih dapat bermain dengan penuh keriangan. Mereka begitu menikmati kehidupan alami nan jauh dari ingar-bingar kehidupan manusia. Pitun, Mega, Sela, dan banyak nama-nama manusia memang disematkan pada kawanan orangutan ini.

Kawanan orangutan ini pernah direintroduksi dan masih mendapat perhatian para peneliti dari pusat reintroduksi orangutan, Borneo Orangutan Survival. Pitun cs dicoba dimanusiakan dengan memiliki nama sambil diajarkan sebuah keberanian untuk menjalani kehidupan keras di habitatnya. Namun nasib baik Pitun cs tak dialami saudara-saudaranya di kawasan lain.

Persisnya saat pohon-pohon bertumbangan. Mesin-mesin gergaji dengan rakus menebang tiap pohon di dekatnya. Tahap berikutnya, gantian mesin-mesin buldoser atau ekskavator ikut meratakan kawasan hutan menjadi satu dengan tanah. Pohon-pohon tumbang dan hutan-hutan pun hilang. Lalu, manusia "sakti" menyulap hutan menjadi kebun kelapa sawit. Lahan kehidupan orangutan dan satwa liar pun sirna.

Inilah awal tragedi kehidupan di kawasan Danau Sembuluh di Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah. Kegundahan atas bergantinya kawasan hutan hijau menjadi kebun-kebun sawit memang bukan hanya milik orangutan dan satwa liar. Tapi dirasakan warga yang bersentuhan langsung dengan kebun-kebun sawit. Dengan alasan sengaja atau terpaksa mereka kehilangan ladang-ladangnya.

Bahkan, beberapa di antaranya ikhlas menjadi buruh kebun kelapa sawit untuk sekadar menyambung kebutuhan hidup. Pokok persoalannya adalah mereka menjadi buruh di bekas lahan miliknya sendiri. Selain ladang warga yang berganti menjadi kebun sawit, diam-diam ancaman pencemaran pun mulai dirasakan warga. Air danau yang dulu bersih dan layak untuk dikonsumsi kini mulai diragukan.

Berdirinya pabrik-pabrik pengolahan minyak kelapa sawit yang limbahnya digelontorkan ke danau membuat air danau tak lagi bersih dan sehat. Para nelayan merasakan perubahan itu. Kini ikan yang didapat banyak terjangkit penyakit. Contoh paling segar adalah dikemukakan warga yang memelihara ikan di atas keramba. Belum lagi sepekan, hampir tiap hari ditemukan puluhan bibit ikan mati.

Dalam kurun tiga tahun ini, kebun sawit pun menghampar luas di Danau Sembuluh dan berbagai lokasi lainnya di Kalteng. Saat ini, sekitar 4,3 juta hektare hutan berganti rupa menjadi kebun-kebun sawit milik sekitar 240 perusahaan yang sepertiganya dari Negeri Jiran dengan total nilai investasi mencapai Rp 11,7 triliun. Pengusaha mengeruk laba sebesar-besarnya dengan target meraih satu juta ton minyak sawit dan keuntungan hingga Rp 3,6 triliun tiap tahun.

Warga desa mungkin dapat diam atau pasrah atas nasib yang didapatnya. Namun, tidak demikian dengan satwa dengan nama Latin pongo pygmaeus. Mereka kehilangan rumah dan tempat mencari makan. Mereka terlunta-lunta tanpa dapat berpikir cara mempertahankan hidupnya. Pada akhirnya, orangutan pun mencari makan di kebun sawit dan melahap daun serta tunas yang baru ditanam.

Tingkah orangutan menjadi ancaman serius kelangsungan usaha sawit. Tak pelak para buruh beramai-ramai memburu orangutan. Mereka seakan telah sepakat untuk membantai tiap orangutan yang mencoba mencari makan di kebun sawit. Mereka tak peduli soal makna pelestarian satwa langka atau persoalan ekologi lainnya. Yang jelas, orangutan mengganggu usaha majikannya. Masa pembantaian orangutan pun tiba.

Para buruh umumnya gemar melukai tangan dan menghantam kepala orangutan. Ratusan orangutan tewas atau cacat dan ratusan anak-anaknya menjadi yatim piatu. Namun jangan berpikir tentang upaya penghentian perburuan atau menangkap pelaku penjahat lingkungan ini. Sebab usaha perkebunan sawit di negeri ini seakan mendapat restu untuk berbuat apa pun, termasuk membantai satwa yang beberapa karakternya mirip manusia ini.

Secara biologis deoksiribonukleat (DNA) orangutan sekitar 90 persen sama dengan manusia. Artinya, makhluk ini punya banyak kemiripan karakter dengan makhluk tersempurna di atas muka bumi ini. Karena itu, proses reintroduksi atau rehabilitasi terhadap anak-anak orangutan korban pembantaian di kebun-kebun kelapa sawit membutuhkan ketelatenan dan kesabaran.

Setiap pagi para baby sitter menggiring anak-anak orangutan ke hutan lindung yang disebut sekolah sebagai cara mengajarkan keberanian hidup di alam bebas. Para pengasuh mengawasi dan menjaga anak-anak orangutan dengan hati. Mereka tak diperkenankan untuk memukul. Sebaliknya, belaian halus senantiasa harus diberikan saat mendorong anak orangutan bergerak di habitatnya.

Namun demikian, cerita tentang genosida orangutan ini tidak dengan sendirinya berakhir karena muara permasalahannya hingga kini belum terjawab. Ironisnya, masalah utamanya yakni membanjirnya izin memberangus hutan dan membangun kebun kelapa sawit masih misteri. Seakan tidak satu pun kekuatan yang dapat membendung laju penghancuran lahan hijau di Kalimantan ini.

Kalimantan adalah satwa liar, hutan, dan air. Ketiganya adalah satu kesatuan yang membuat manusia dapat merasakan surga dari Sang Pencipta. Orangutan bukan sekadar satwa liar dan langka, yang ikut mengatur kehidupan manusia. Sebaliknya dengan akal-budinya, manusia justru mengatur kehidupan orangutan sehingga terciptalah sebuah hubungan harmonis manusia dan makhluk hidup lain.

Apabila masih ada manusia yang berusaha melenyapkan makhluk Tuhan lain dengan cara-cara yang tragis, tentu ini lebih didasarkan pada satu alasan yakni keinginan sang makhluk tersempurna itu untuk mengatur kehidupan ini secara berlebihan. Dan, kebun kelapa sawit memang telah membutakan mata hati mereka untuk menghargai mahluk Tuhan yang bernama orangutan.(JUM/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini