Sukses

Madrasah Seribu Pulau

Ratusan siswa dari pulau-pulau terpencil di Selat Makassar terpaksa harus bersekolah ke kota lainnya. Sebagian besar dari mereka memilih sekolah dengan label Darud Dakwah Wal Irsyah atau yang dikenal madrasah seribu pulau.

Liputan6.com, Makassar: Perairan Selat Makassar, Sulawesi Selatan, terbentang begitu luas. Di tengah hamparan lautan berserakan ratusan pulau kecil. Masyarakat yang ada di daratan kecil ini hidup dalam kesederhanaan. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai nelayan. Kendati jauh dari kehidupan modern, mereka masih memelihara keinginan untuk mencerdaskan anak-anaknya, yakni dengan mengirimkannya ke pulau-pulau lain untuk belajar.

Ani dan Mihru, misalnya. Selama dua tahun, mereka terpaksa terpisah jauh dari orang tuanya karena harus bersekolah di Kota Makassar. Keduanya adalah siswa Madrasah Tsanawiyah Darud Dakwah Wal Irsyah (DDI) Gusung di kawasan Paotere, Makassar.

Mihru asal Pulau Kapoposan, sedangkan Ani dari Pulau Pandangan. Kedua pulau itu merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Pangkep. Mihru dan Ani termasuk ratusan siswa dari pulau-pulau terpencil yang harus bersekolah ke Makassar atau kota lain. Ini akibat keterbatasan sarana pendidikan. Di Pulau Kapoposan, misalnya. Di daerah ini hanya ada satu sekolah dasar sehingga ketika para siswa lulus, mereka harus bersekolah ke tempat lain.

Uniknya, sebagian besar dari mereka memilih sekolah dengan label DDI. Padahal sebenarnya madrasah atau sekolah yang menggunakan nama DDI bukan hanya ada di kawasan Paotere. Tapi, memang hampir semua sekolah di seluruh kota di Sulsel memiliki keterkaitan dengan alumnus pondok pesantren atau sekolah DDI yang berpusat di kawasan Mangkosa, Kabupaten Barru. Lantaran itulah penggunaan nama DDI seperti menjadi daya tarik bagi warga di gugusan Kepulauan Pangkep untuk menyekolahkan anak-anaknya di tempat ini, termasuk Mihru dan Ani.

Menurut HM Anwar, pengurus Yayasan DDI di Gusung, keberadaan madrasah-madrasah berlabel DDI tidak bisa dipisahkan dari nama Anregurutta Kiai Haji Abdur Rahman Ambo Galle. Sebutan anregurutta bermakna guru kita yang biasa disematkan pada tokoh ulama yang dianggap berpengaruh.

Sebelumnya lembaga dakwah dan pendidikan ini bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah yang pola pengajarannya bergaya sorogan atau mengaji dengan duduk bersila. Pada 1947, namanya berubah menjadi DDI yang mengisyaratkan perubahan pola pendidikan seperti sekolah serta menggencarkan upaya pencerdasan bangsa dengan berdakwah. Saat itu para da`i dan pendidik DDI sering berkunjung ke pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi untuk membuka mata dan mencerdaskan warga terasing itu dari kebodohan.

Anwar menambahkan, sejalan dengan perkembangan kini DDI kini bukan sekadar pondok pesantren atau pengajian sorogan. Lembaga ini sekarang semakin berkembang dengan kiprah pendidikannya sebagai madrasah seribu pulau atau sekolah yang berhasil menampung dan mendidik para siswa dari berbagai pulau di Sulawesi.

Salah satu kesempatan bagi Mihru dan Ani untuk pulang ke kampung halaman adalah dengan memanfaatkan masa libur. Seperti saat peringatan Hari Maulud Nabi Muhammad SAW, akhir Maret silam. Keduanya memanfaatkan hari besar tersebut untuk mengunjungi orang tua dan keluarga lainnya.

Agar bisa tiba di tujuan, Mihru dan Ani harus menumpang perahu milik seorang warga Pulau Kapoposang. Pejalanan diawali dari dermaga tradisional Paotere. Dermaga ini merupakan pintu gerbang antara Kota Makassar dengan ratusan pulau kecil di tengah perairan Selat Makassar.

Lama pelayaran sekitar lima jam, itu pun bila keadaan cuaca tengah bersahabat. Tapi bila sebaliknya, mereka terpaksa harus singgah terlebih dahulu di pulau-pulau terdekat. Selama dalam pelayaran, Ani dan Mihru harus ikhlas berdesakan dengan penumpang lain yang membawa tumpukan barang belanjaan. Belum lagi deru suara mesin yang memekakkan telinga serta siraman angin laut dan air asin.

Setelah sekian lama berada di antara ketidaknyamanan dan tantangan alam, Mihru dan Ani akhirnya bisa menginjakkan kaki di pulau kelahirannya. Pulau Kapoposan berada di sebelah selatan Pulau Sulawesi. Namun, secara administratif pulau ini menjadi bagian dari Kabupaten Pangkejene. Luas pulau sekitar 50 ribu hektare dengan populasi penduduk sekitar 300 jiwa.

Sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Mereka memanfaatkan hasil laut Selat Makassar untuk kebutuhan sendiri atau dijual ke Makassar. Selain sebagai nelayan, ada juga warga yang menjadi pembuat perahu. Ayah Mihru, Bahrudin, umpamanya. Hampir seluruh perahu milik warga di pulau ini dibuat olehnya.

Selain sekolah dasar, tumpuan pendidikan di tempat ini adalah taman pengajian Alquran milik Muhammad Nur. Sang ustad adalah alumnus pondok pesantren DDI di kawasan Mangkosa, Kabupaten Barru. Di tempat ini masih bisa didengar cara mengeja bacaan Alquran khas Bugis.

Setelah bermalam di Pulau Kapoposan, Mihru mengunjungi kampung halaman Ani di Pulau Pandangan. Luas pulau ini tidak jauh berbeda dengan Pulau Kapoposan, yakni sekitar 50 ribu hektare. Namun, Pulau Pandangan memiliki populasi lebih padat, yaitu dihuni sekitar 1.300 jiwa. Sebagian besar warganya juga bekerja sebagai nelayan dan pembuat perahu. Di tempat ini pun hanya ada satu sekolah dasar.

Pulau Pandangan bukan hanya dimukimi oleh suku Bugis tapi juga suku lain, termasuk suku Bajo. Salah seorang di antaranya adalah Salenrang. Ia merupakan satu-satu orang Bajo di Pulau Pandangan. Salenrang berasal di kawasan Bombana, Sulawesi Tenggara. Namanya menonjol karena dikenal memiliki keterampilan melaut yang luar biasa.

Setiap hari kakek berusia hampir 80 tahun ini berlayar dengan perahu dayung menuju perairan Selat Makassar. Sebagai suku laut, pria ini pandai berenang, menyelam, dan memburu hewan laut. Terkadang warga setempat sering melihatnya bermain-main dengan penyu. Apabila mendapat beberapa ekor ikan, ia bagi-bagikan ke warga lain.

Warga di pulau ini juga dikenal sebagai nelayan terampil. Hasil tangkapan mereka kemudian dijualnya ke Kota Makassar. Dengan sumber nafkah dari alam ini, mereka pun semakin memiliki kemampuan untuk mencerdaskan anak-anaknya. Mereka tidak cukup puas dengan pendidikan yang hanya sekadar sekolah dasar, tapi harus bisa menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Inilah salah satu buah yang dipetik dari pengembangan pendidikan yang dilakukan oleh para ulama DDI tempo dulu.

Sesudah berlibur selama dua hari di kampung halaman, Mihru dan Ani harus bergegas kembali ke Kota Makassar. Mereka meninggalkan pulau dengan menumpang joloro atau perahu kecil bermesin satu. Perahu yang hanya dipayungi tenda plastik ala kadarnya ini menjadi satu-satunya kendaraan yang akan mengantar keduanya ke luar pulau. Mereka berharap tidak ada badai atau hujan deras di tengah laut sehingga bisa kembali menikmati bangku sekolah di madrasah seribu pulau. Inilah "pohon" yang tengah mereka tanam untuk masa depan diri dan warga di pulaunya.(IAN/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini