Sukses

Cheng Ho Sang Laksamana Agung

Kelenteng Sam Poo Kong menjadi saksi bisu kehadiran Laksamana Cheng Ho di Kota Semarang. Pengaruh laksamana muslim bernama kecil Ma He atau Muhammad ini tampak dalam tradisi Cina pada budaya Jawa.

Liputan6.com, Semarang: Puluhan pria menari-nari di bawah boneka singa dan naga. Para penari berkaus putih dan celana hitam meliukkan tubuh dan bergerak dalam kostum barongsai dan liong di depan Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, Jawa Tengah. Merayakan Tahun Baru Imlek, 19 Februari silam.

Barongsai dan liong adalah tarian tradisional warga Cina yang sudah ratusan tahun menjadi atraksi menarik di kelenteng yang berada di kawasan Simongan, Semarang Barat. Tempat ibadah yang juga terkenal dengan sebutan Kelenteng Gedong Batu menjadi tanda kebesaran Cheng Ho, Sang Laksamana Agung. Sekaligus menjadi tanda hubungan Cina dan Indonesia yang terjalin berabad-abad lampau.

Adalah Kaisar Chu Ti dari Dinasti Ming yang memerintahkan Laksamana Cheng Ho berekspedisi ke berbagai belahan dunia. Selama 1905-1933, Laksamana Cheng Ho berhasil mendatangi 30 negara, termasuk sejumlah kota di Nusantara.

Pena sejarah mencatat perjalanan panjang itu tidak hanya mengembangkan misi perdagangan dan diplomasi politik. Tapi, juga menyiarkan ajaran Islam. Laksamana Cheng Ho adalah muslim asal Provinsi Yunan, Mongol.

Pertengahan Juli 1405. Armada kolosal Laksamana Cheng Ho meninggalkan Pelabuhan Nanjing, Cina, dengan kapal harta seluas 6.300 meter persegi bersama puluhan kapal pendukung. Armada dengan sekitar 30 ribu awak bertolak ke arah selatan menuju Samudra Pasifik hingga tiba di perairan Nusantara. Tepatnya di pelabuhan Kota Semarang, Jawa Tengah.

Cheng Ho memang muslim yang taat. Ia berasal dari suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip suku Han, namun beragama Islam. Ayahnya, Ma Ha Zhi, menamai dia Ma He yang berarti Muhammad.

Ketika pasukan Cina menyerang Mongol, Cheng Ho dan keluarga menjadi korban. Dia dikebiri dan keluarganya dibantai. Takdir menyeret Cheng Ho ke istana Dinasti Ming. Ia menjadi kasim Pangeran Chu Ti dan turut berjuang membela pangeran merebut takhta.

Saat Chu Ti menjadi kaisar, Cheng Ho mendapat kepercayaan memimpin armada laut yang bertujuan mempropagandakan kebesaran Dinasti Ming di bawah panji-panji Yong Le atau Kebahagiaan Abadi. Sejarah mencatat dalam pelayaran selama 28 tahun, armada Laksama Cheng Ho bersandar di pelabuhan Champa (Kamboja), Palembang (Sumatra Selatan, Indonesia), Malaka (Malaysia), Samudra Pasai hingga melintasi Samudra Hindia untuk mencapai Sri Lanka dan pelabuhan-pelabuhan lain di Afrika.

Dalam perjalanan melintasi Laut Jawa, Cheng Ho sempat singgah di Semarang, Jawa Tengah. Ong King Hong atau Wang Jing Hong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Laksamana Cheng Ho memutuskan untuk merapat di Pantai Simangon dan membawa nakhodanya ke darat.

Saat itu, seperti halnya kota-kota lain di Jawa, Semarang berada di bawah kekuasaan adipati dari Kerajaan Majapahit. Karena itu Cheng Ho memilih Gowa, Sulawesi Selatan, sebagai tempat persinggahannya untuk menghindari bentrokan dengan penguasa di masa itu.

Tidak ada catatan akurat soal waktu kehadiran Cheng Ho di Semarang. Namun, para ahli sejarah meyakini Gua Simongan adalah saksi kehadiran Cheng Ho dan awaknya.

Laksamana Cheng Ho merawat sendiri nakhodanya. Dia juga menyempatkan diri untuk menyaksikan kehidupan warga di Tanah Jawa. Tujuannya tidak semata demi bisnis dan diplomasi politik tapi juga menyebarkan agama Islam.

Sejumlah sejarawan mencatat, Cheng Ho memberi pengaruh pada kesultanan Islam pertama di Jawa yang berpusat di Kota Demak, Jateng. Sultan I Demak, Raden Patah (Cek Bo Pu) yang berjuluk Pangeran Jim-Bu atau gagah berani.

Pengaruh Cina juga dirasakan pada sosok Wali Songo. Nama Sunan Bonang diduga berasal dari serapan Bong Ang. Sunan Kalijaga (Gan Si Cang) atau Raden Syahid diperkirakan berasal dari sebutan sa-it atau 31, tanggal kelahiran ayahnya, Raden Arya Sidik. Bukti-bukti ini memang sangat lemah. Sebab, bisa jadi nama atau julukan berbau Cina tercipta dari pengaruh warga Cina lain di luar Cheng Ho.

Di sisi lain, upaya Cheng Ho menyebarkan Islam ternyata tidak berkibar. Cheng Ho mengembangkan mazhab Imam Hanafi yang dianggap rasionalistis. Sedangkan saat itu, Islam di tanah Jawa berkembang dalam mazhab Imam Syafii yang bisa membaur dengan budaya lokal.

Meski begitu, fakta membuktikan Cheng Ho membawa dampak yang besar bagi kehidupan warga Kota Semarang. Khususnya warga keturunan Tionghoa. Berkat kehadiran sang Laksamana Agung warga keturunan Cina terus berkembang dan ikut membangun peradaban baru di Kota Semarang. Memadukan tradisi Negeri Tiongkok dari leluhur dengan kebudayaan yang telah ada.

Pengaruh Cheng Ho di Semarang berkembang terutama karena setelah sehat, Ong King Hong bermukim di Semarang dan menikah dengan gadis pribumi. Laksamana meninggalkan gua dan melanjutkan perjalanan ke negara lain.

Ong King Hong dan prajurit yang bertahan mencoba terus mengharumkan nama Cheng Ho. Gua Simongan dipelihara dan menjadi lokasi warga keturunan Cina untuk menghormati dan mengenang sosok Laksamana Agung. Lokasi ini berkembang menjadi Kelenteng Sam Poo Kong yang juga gelar Cheng Ho dalam pemerintahan Dinasti Ming.

Waktu berlalu. Komunitas keturunan Cina di Semarang makin berkembang. Warga yang umumnya beragama Khonghucu atau paham Tao, Ong King Hong membangun Kelenteng Thay Kak Sie. Saat ini, umat Kong Hu Chu yang menggunakan kelenteng yang berada di pusat Kota Semarang. Padahal, Ong King Hong adalah muslim yang taat seperti juga tokoh panutannya, Cheng Ho.

Warga keturunan Cina tetap melestarikan budaya leluhur. Termasuk dalam berbagai kegiatan agama dan budaya. Dongeng kerajaan Cina dalam wayang potehi masih menjadi pertunjukan yang menyedot perhatian. Bisa jadi ini adalah tradisi yang diturunkan Ong Ping Kong yang diteruskan titisan darahnya.

Warga keturunan Cina masih mempertahankan budaya. Berbaur dengan warga pribumi, mereka menggelar berbagai perhelatan. Di hari biasa mereka berniaga tanpa sekat.

Di Kelenteng Sam Poo Kong, sekitar enam abad lampau, Cheng Ho, Ong Ping Kong, dan para awak bukan sekadar singgah. Mereka membawa angin baru yang memberi pengaruh kehidupan di wilayah ini.

Ekspedisi Cheng Ho berujung di Mombasa, Tanzania, Afrika. Dalam perjalanan selama 28 tahun, Cheng Ho juga menebarkan ajaran hakiki Islam yaitu perdamaian. Banyak peristiwa berdarah di negara-negara yang menjadi persinggahan, namun Cheng Ho berhasil mendinginkan suasana. Bahkan berkat misi perdamaian, Cheng Ho mampu meredakan ketegangan dan memberi tataran hidup yang lebih beradab.

Laksamana Cheng Ho bukan dari golongan darah biru. Catatan emas dalam pelayaran tidak mengantarkan dia ke tempat yang lebih terhormat. Sejarah mencatat, nama Cheng Ho tenggelam bersama keredupan Kaisar Chu Ti. Nama Laksamana Cheng Ho baru diagungkan ratusan tahun setelah pelayaran dahsyatnya berlalu.(TNA/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.