Sukses

Jakarta Empang Besar

Dua belas juta warga Jakarta menderita akibat banjir. Pemerintah dinilai terlalu fokus pada pembangunan banjir kanal yang hanya berfungsi mengalirkan air dan melupakan masalah penyerapan air.

Liputan6.com, Jakarta: Air senantiasa bergerak dari dataran tinggi ke dataran rendah. Air juga menjadi perlambang kegigihan dan kedisiplinan untuk mencapai suatu keinginan. Namun air juga bisa memorak-porandakan segala sesuatu yang ada di depan, termasuk kehidupan manusia.

Ketika musim hujan tiba, kesibukan Andi sebagai penjaga Bendungan Katulampa, Bogor, Jawa Barat, bertambah. Setiap malam hampir tiap jam Andi memantau tinggi air yang melintasi Bendung Katulampa menuju Sungai Ciliwung. Informasi Andi sangat berguna bagi jutaan warga metropolitan yang senantiasa dihantui ancaman banjir. Apalagi banjir yang mengepung Jakarta di Februari ini sangat parah.

Hubungan air di Bendungan Katulampa dan ancaman banjir di Jakarta memang erat. Pada saat debit air Bendungan Katulampa mencapai garis tertinggi, dalam tempo sekitar sembilan jam bisa dipastikan air akan menggelontor melintasi Sungai Ciliwung. Ini terjadi karena sejak dibangun pemerintah Belanda pada 1910, fungsi Bendungan Katulumpa sebatas pengapur irigasi. Bukan pengendali arus air.

Contoh kedekatan Bendungan Katulampa dan nasib warga Ibu Kota diperlihatkan pada awal Februari ini. Curah hujan yang tinggi di kawasan Puncak, Jabar, dalam sekejap menghadirkan jutaan debit air yang bergerak liar ke Sungai Ciliwung. Andi yang 20 tahun berjaga di Bendungan Katulampa hanya bisa mengabarkan status siaga satu kepada petugas posko pengendali banjir di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.

Namun yang dilakukan Andi tak terlalu banyak membantu. Air yang biasa bergerak dalam alur tetap ternyata meluncur dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Bahkan sanggup membangun alur baru di tepian tempat-tempat yang dilalui. Dalam sekejap Ibu Kota terendam.

Derita bencana banjir Jakarta bukanlah cerita baru. Pada 1934, kawasan Harmoni yang dekat dengan kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, pernah kebanjiran. Penyebabnya, 40 persen daerah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Padahal waktu itu Jakarta masih memiliki ribuan hektare lahan hijau dan sedikit lokasi permukiman.

Kini, sekitar 12 juta warga mendiami Ibu Kota. Bangunan-bangunan beton menutupi lahan-lahan kosong dan hijau. Daerah resapan air pun menipis. Banjir tentu makin parah. Cerita miris tentang kampung yang kebanjiran bukan hanya milik warga Jakarta lagi. Warga yang tinggal di wilayah penyangga Ibu Kota juga ikut merasakan terjangan air bah.

Banjir memaksa ratusan warga Desa Sumber Urip di perbatasan Bekasi dan Karawang, Jabar, mengungsi ke desa lain. Mereka bahkan harus menyusuri pematang sawah sejauh sekitar tiga kilometer. Ironisnya lagi, di lokasi pengungsian mereka tidak mendapat bantuan makanan. Selain itu mereka harus menyaksikan sawah terendam air.

Saat banjir melanda Jakarta sepekan silam, pos pengendali banjir di kawasan Manggarai menjadi harapan terakhir. Merekalah yang pada akhirnya mengatur limpahan air dari Katulampa menuju kanal banjir barat atau menahan untuk sementara.

Menggelontorkan air ke arah banjir kanal barat berarti akan berisiko banjir di kawasan Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara. Terlebih bila laut Teluk Jakarta pasang. Sebaliknya jika air ditahan, warga Jaksel, terlebih yang bermukim di pinggiran Sungai Ciliwung akan terendam.

Menurut Marco Kusumawijaya, perencana kota, kesalahan utama pemerintah adalah terlalu fokus pada pembangunan kanal banjir. "Membangun kanal banjir hanya menangani seperempat dimensi," kata Marco. Dia menambahkan, banjir kanal hanya berfungsi untuk mengalirkan air, tidak menyerap air.

Pemerintah memang hanya terlalu fokus pada problem hilir yang membebaskan lahan untuk banjir kanal timur yang belum tuntas. Mereka lupa rawa bakau telah dibangun pertokoan, rumah mewah, atau areal permukiman warga yang makin menutupi lahan hijau.

Sementara dalam masalah hulu, lahan-lahan hijau dan resapan air di kawasan Puncak telah gundul atau ditumbuhi sejumlah vila mewah. Curah hujan yang tinggi membuat air melaju deras ke arah Sungai Ciliwung.

Walau persoalan telah diketahui, ternyata tidak membuat pihak-pihak yang berkompeten sadar dan segera memperbaiki. Bahkan proyek instan semacam membangun sodetan Ciliwung, Cisadane, atau membangun bendungan Ciawi yang diharapkan bisa mengurangi dampak banjir hanya sebatas wacana.

Klimaks cerita, banjir menyengsarakan rakyat, khususnya warga miskin. Warga Jakarta yang tinggal di pinggiran sungai atau kanal barat merasakan musibah tahunan banjir. Selama itu pula sebagian dari mereka harus meninggalkan pekerjaan dan menata rumah yang terkoyak. Bahkan banyak di antara mereka hingga kini masih tinggal di pengungsian.

Warga yang tinggal di kota harus kehilangan benda-benda berharga. Sementara warga desa harus kehilangan sumber hidup. Sawah yang baru ditanami padi menjadi hamparan air. Hewan ternak yang menjadi tabungan juga ikut lenyap. Sekitar empat ribu jiwa di Desa Sumber Urip mengalami nasib nahas ini.

Marco menyarankan, agar masalah ini tuntas harus dilakukan analisis faktor penyebab banjir. Setelah diketahui kemudian dilakukan sejumlah strategi. "Kalau sebab-sebabnya seperti drainase yang tidak beres, drainasenya dibereskan, kapasitasnya diperbesar. Kemudian penyumbatan-penyumbatan dibersihkan dan dipelihara dengan baik," tutur Marco. Menurut dia, masih banyak lagi kemungkinan penyebab banjir, tapi yang terpenting pemerintah membuat sistem penyerapan air.

Sesungguhnya Tuhan telah meminta hamba-NYA untuk senantiasa berikrar atau membaca. Bahan yang dibaca itu bukan hanya Kitab Suci, tapi juga alam. Kemampuan membaca tanda-tanda alam dengan sendirinya akan membuat manusia memahami hukum alam dan bijak menjaga keharmonisan. Dengan demikian manusia bisa meraih manfaat besar saat meresapi filosofi air, yakni kegigihan mencapai keinginan.(DNP/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.