Sukses

Tiga Hari Bersama Suku Wana

Ekspedisi To Wana berakhir di Desa Kayupoli, Morowali, Sulawesi Tengah. Rasa lelah berhari-hari menempuh medan berat terbayar setelah menyerap kekayaan pengalaman hidup orang Wana.

Liputan6.com, Morowali: Petualangan Tim Ekspedisi To Wana belum berakhir. Pada episode ketiga ini, tim menempuh jalan berliku menuju ke Desa Kayupoli, desa terluar penduduk Wana di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah. Tujuh jam berjalan, tim baru menemui sebuah rumah. Pemilik rumah bernama Sujuh menerima dengan ramah. Seluruh anggota tim dari mahasiswa Universitas Hasanuddin dan arkeolog Iwan Sumantri santai mengobrol dengan Sujuh.

 

Jabar Lahaji--dari Yayasan Sahabat Morowali--menerangkan, rumah Sujuh dan sawah yang digarapnya masih termasuk kawasan Desa Kayupoli. Gaya rumah Sujuh terlihat jelas khas Suku Wana. Namun, istri Sujuh tak terlihat di rumah karena sedang memanen padi. Suku Wana tidak membedakan derajat lelaki dan perempuan dalam segala hal kehidupan. Namun, wanita tidak bisa menjadi basoli atau kepala suku.

Menurut Jabar, perjalanan ke Desa Kayupoli masih jauh melewati bukit dan padang ilalang. Karena hari masih siang, Iwan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Beruntung senja mulai menyergap sehingga anggota tim tidak terlalu kehabisan energi akibat sengatan matahari. Begitu kaki menginjak jalan setapak, para anggota tim sedikit lega karena medan terberat sudah dilalui. Kini, mereka tinggal menapaki jalan datar yang membelah ilalang. Jabar mengatakan, tujuh tahun silam, padang ilalang tersebut pernah dijadikan lahan sawah oleh warga Wana.

Empat hari perjalanan ditempuh tim ekspedisi untuk sampai di Desa Kayupoli. Menurut Jabar, orang Wana selain di Desa Kayupoli juga bermukim di Desa Posangke, Uewaju, dan Kayumarangke. Seluruh desa berada di areal Cagar Alam Morowali yang luasnya mencapai 225.000 hektare. Tapi, tim tak bisa datang ke desa-desa itu karena jaraknya berjauhan. Adapun satu desa dihuni sekitar 2.000 jiwa.

Hari pertama di Desa Kayupoli atau hari kelima dari seluruh perjalanan, tim "disuguhi" drama paling langka yaitu, sidang perceraian ala suku Wana. Sidang diadakan di rumah seorang warga dipimpin oleh Jima, sang basoli. Neti menggugat cerai Tolodo karena sering dikasari suaminya. Saksi-saksi kemudian dipanggil untuk mencari kebenaran cerita Neti. Setelah mendengarkan keterangan para saksi, Jima meluluskan permintaan Neti dengan syarat membayar denda kepada Tolodo. Persidangan berakhir dengan damai. Kedua belah pihak terlihat menerima hasil persidangan. Para penonton termasuk anggota tim kemudian pulang untuk melepas lelah.

Pagi harinya penduduk Desa Kayupoli kembali bekerja. Kaum lelaki pergi ke ladang, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah. Iwan Sumantri dan sebagian anggota tim mengisi waktu dengan melihat Yoma membuat perangkap tikus di lumbung. Perangkap itu hanya untuk mengusir tikus karena bagi suku Wana hewan pengerat itu merupakan bagian dari ekosistem lingkungan. Yoma juga menunjukkan cara menggunakan alat pemeras tebu sederhana buatan mereka.

Memasuki hari keenam di Desa Kayupoli, tim ekspedisi lagi mendapat pengalaman baru, yaitu menyaksikan mamago atau upacara pengobatan tradisional. Sejumlah warga Wana yang sakit diobati oleh walia atau dukun diiringi musik khas setempat. Sebelum mulai mengobati, walia menari untuk mencari kekuatan dari pue atau Sang Maha Pencipta. Setelah kekuatan datang walia mengusap badan pasien dan mengisap sumber penyakitnya. Upacara mamago menjadi bukti kuatnya hubungan suku Wana dengan Sang Pencipta. Mereka percaya Tuhan dan memegang teguh khalaik. Tapi, mereka akan mengucilkan warga suku Wana jika diketahui tidak memeluk khalaik.

Banyak kejadian dipetik tim ekspedisi selama tiga hari bergaul dengan suku Wana. Kegiatan mencari nafkah suku Wana misalnya, terlihat ada perubahan besar. Kini warga lebih suka berladang, mengolah rotan atau damar, dan berdagang daripada berburu-meramu. Satu bulan sekali mereka membawa sekitar 700 kilogram damar ke Kota Kolonodale. Damar dijual Rp 3.500 per kilogram. Uangnya kemudian dibelikan kebutuhan hidup dan juga radio. Orang Wana juga semakin konsumtif karena membuka peluang usaha baru, seperti menjual jasa mengangkat barang atau menyewakan perahu katingting.

Walau begitu, warga Wana masih mempertahankan soal prinsif, tare pemerentah, tare agama, dan tare kampung. Dikaitkan dengan ideal manusia, tare pemerentah atau tanpa pemerintah memang benar, jika negeri ini dikelola pemimpin yang tidak bertanggungjawab. Begitu juga tare agama di luar khalaik dinilai tepat, bila agama dijadikan barang dagangan atau alat penguasa untuk membodohi rakyat. Tare kampung atau tanpa kampung juga betul, andai kampung tidak lagi menyediakan kerukunan dan kenyamanan bagi warganya.(KEN/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini