Sukses

Ekspedisi To Wana yang Belum Usai

Ekspedisi To Wana yang dilakukan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulsel, yang telah memasuki hari ketiga belum juga sampai di Cagar Alam Morowali. Sejumlah hambatan masih menghadang untuk mencapai lokasi Suku Wana.

Liputan6.com, Morewali: Perjalanan nanjauh dan meletihkan masih mewarnai ekspedisi To Wana. Kali ini, eksepedisi yang dilakukan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, telah memasuki hari ketiga. Dimulai dari sebuah dermaga di Kota Kolonodale, Sulawesi Tengah, tim ekspedisi harus melintasi Teluk Towari dengan menggunakan sebuah perahu bermesin ganda. Transportasi air inilah yang menjadi satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan tim ekspedisi ke tempat Suku Wana berada di kawasan Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah.

Bagi anggota tim ekspedisi, perjalanan air ini memberikan kebahagiaan tersendiri. Pasalnya, mereka kali ini benar-benar mendapatkan tenaga dan suasana baru. Bahkan diam-diam, Iwan Sumantri--arkeolog sekaligus pemimpin tim ekspedisi--meminta Jabar Lahaji--dari Yayasan Sahabat Morowali--untuk singgah ke sebuah pulau terdekat yang memiliki lukisan cetakan tangan di dinding tebing. Bagi anggota tim, kejutan itu menjadi hiburan berharga buat catatan ilmiah sebelum memasuki kawasan Cagar Alam Morowali dan mendapati kehidupan Suku Wana.

Tak puas dengan temuan gambar telapak tangan, Jabar dan salah seorang anggota tim ekspedisi memanjat ke atas tebing. Ternyata, di atas pulau terdapat lokasi pemakaman. Ini terlihat adanya tulang-belulang di mulut sebuah ceruk. Tapi, temuan ini tak bisa dihubungkan dengan Suku Wana. Selain lokasinya yang terbilang jauh dari kawasan cagar alam wana, berdasarkan catatan ilmiah Iwan, Suku Wana tak memiliki tempat khusus untuk pemakaman jenazah. Setiap anggota keluarga Suku Wana yang meninggal biasanya dimakamkan di dekat rumah. Tapi, tak ada nisan atau tanda khusus di atasnya.

Biasanya setelah seorang warga dimakamkan, mereka bergegas meninggalkan kampung itu dan berpindah ke tempat lain. Mereka percaya cara itu akan membuat terhindar dari ketidakberuntungan. Bagi keluarga yang ditinggalkan, biasanya tak akan pernah lagi mengingat dan menyebut nama anggota keluarganya yang meninggal.

Meski tak keterkaitan dengan Suku Wana, tim ekspedisi tetap merasakan manfaat adanya temuan gambar telapak tangan dan tulang-belulang di mulut ceruk tadi. Adanya kehidupan khas Austronesia yang bermukim di goa-goa dan ceruk di zaman prasejarah memang terbukti. Penelitian singkat ini pun berakhir dan saatnya melanjutkan perjalanan ke kawasan Cagar Alam Morowali.

Setelah hampir tiga jam mengarungi perairan Teluk Towari, kawasan cagar alam Morawali mulai terlihat di depan mata. Rasa haru dan gembira bercampur menjadi satu di hati setiap anggota tim ekspedisi. Inilah buah perjalanan selama tiga hari ini. Dan kini saatnya menikmati keindahan muara Morowali dengan kekayaan flora di kiri-kanannya.

Akhirnya perahu tim ekspedisi pun berhenti di dekat Kampung Keakea. Perjalanan terhenti karena adanya batang pohon yang melintang di atas sungai. Akibatnya, perjalanan ke Kampung Keakea harus dilakukan dengan menyusuri jalan setapak. Adanya jalan setapak membuktikan kawasan ini kerap dimasuki para pendatang. Selain peneliti dan turis asing, para pencari kayu dari kampung lain memang sering berdatangan ke tempat ini. Bagi warga Suku Wana, jalan setapak menjadi kendaraan menembus dunia luar. Suku Wana dikenal sebagai pejalan kaki yang tangguh. Pasalnya, mereka memang dididik dan dibesarkan alam untuk tak bergantung pada kendaraan.

Selang dua jam, tim ekspedisi tiba di Kampung Keakea. Rencananya, perjalanan akan dilanjutkan dengan menggunakan perahu katinting. Namun, hal itu urung dilakukan. Pasalnya, Jima yang memiliki kendaraan air itu tak terlihat. Diduga, Jima kembali ke desanya karena tim ekspedisi terlambat tiba di Kampung Keakea. Akhirnya, tim ekspedisi pun bermalam di kampung terluar kawasan Cagar Alam Morowali ini.

Bermalam di sebuah rumah warga Suku Wana yang telah lama ditinggalkan memberikan suasana tersendiri. Pasalnya, anggota tim ekspedisi merasakan keheningan yang teramat-sangat dan ketenangan yang luar biasa. Maka, kekuatan baru pun telah terhimpun untuk melakukan perjalanan jauh dan mendaki menuju Desa Kayupoli. Pilihan jalan kaki dilakukan karena tak ada perahu milik warga yang melintas. Alhasil, perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai desa terdekat.

Sulitnya medan yang mesti dilalui tim ekspedisi nyaris tak berbeda jauh dengan eskpedisi yang dilakukan Iwan pada 2001. Selain jalan setapak yang datar, mereka juga harus melalui rawa-rawa dan sungai. Beruntung tadi malam tak turun hujan hingga jalan setapak tak terlalu licin. Bila perjalanan dilakukan melalui aliran sungai maka akan lebih ringan. Tapi, ada risiko lain yang mesti dipikirkan, yakni ancaman ular sanca dan buaya di kiri-kanan sungai.

Lokasi yang begitu jauh dari pinggir kawasan cagar alam Morowali membuat Suku Wana kerap dikelompokkan sebagai suku terasing malah bisa dibilang suku primitif. Padahal Suku Wana memiliki sejarah panjang soal hubungannya dengan dunia luar. Iwan Sumantri dan Yayasan Sahabat Morowali memiliki catatan yang sama tentang sejarah Suku Wana. Dulu, mereka memiliki pemimpin bergelar Makole bernama Taomi.

Ekspansi kerajaan-kerajaan di wilayah Morowali membuat Suku Wana mendapatkan tekanan memeluk Islam dan membayar upeti. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, mereka dipaksa bermukim di suatu tempat, memeluk Kristen dan membayar pajak. Setelah Indonesia merdeka, mereka kembali mendapat beban bermukim secara tetap dan membayar pajak.

Pada akhirnya mereka memilih ke belantara luas sebagai tempat hidup. Karena itu mereka dinamakan To Wana yang berarti orang hutan. Kini, mereka terus bertahan dengan cara hidupnya tanpa mengakui adanya pemerintah, adanya agama di luar khalaik, dan adanya kampung.(ORS/Syaiful H. Yusuf/Budi Sukmadianto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.