Sukses

Ketegaran Punggawa Laut Teluk Bone

Bagan apung merupakan salah satu tempat mencari nafkah bagi nelayan di pesisir Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Aktivitas di bagan apung mencerminkan tradisi punggawa-sahi ala suku Bugis.

Liputan6.com, Bone: Kesibukan tampak di sebuah rumah di perkampungan nelayan di pinggir Teluk Bone. Senja itu Haji Bedu bersiap melaut. Setelah segala persiapan rampung, lelaki itu beserta 12 pekerjanya segera menaiki perahunya menuju satu titik di perairan Teluk Bone. Dia menuju bagan apung miliknya. Maka, suara mesin motor tempel di perahunya segera mendominasi ketenangan gelombang laut perairan tersebut.

Bagan apung adalah perahu yang dikelilingi potongan-potongan bambu penahan jala yang berfungsi sebagai alat mencari ikan. Itulah hamparan nafkah bagi warga pesisir di dua kabupaten di Sulawesi Selatan, yakni Bone dan Sinjai. Maklumlah, laut di kawasan tersebut menyediakan tumbuhan dan hewan yang bisa terus dikais dan menjadi sumber kehidupan. Dan bagan apung merupakan salah satu alat tradisional untuk mengumpulkan ikan terbesar yang masih tersisa. Bagan apung sekaligus menunjukkan tradisi punggawa-sahi ala nelayan suku Bugis masih bertahan.

Haji Bedu merupakan seorang warga etnis Bugis yang melanjutkan tradisi punggawa-sahi. Ia memiliki dua bagan apung yang berada di tengah perairan Teluk Bone. Setiap petang, pria itu harus melaut untuk mengawasi kegiatan para sahi atau pekerjanya yang tengah mengumpulkan ikan.

Adapun tradisi punggawa-sahi menggambarkan sistem kerja antara juragan dan bawahan. Atau pemilik bagan apung dan pekerjanya. Tradisi ini memberikan kekuasaan penuh seorang punggawa untuk memberdayakan para sahinya. Punggawa menjadi pusat kebijakan seluruh kegiatan di atas bagan apung, termasuk soal pengajian.

Seperti halnya nelayan suku Bugis lainnya, hubungan punggawa-sahi ini biasanya terjadi karena persaudaraan. Haji Bedu, contohnya. Dia memilih keponakan dan anak-anak sanak keluarganya yang umumnya masih dalam usia sekolah untuk menjadi sahi atau pekerja.

Geliat kegiatan bagan apung dimulai bersamaan saat sang surya menggelincir di ufuk barat. Persisnya, ketika seorang sahi menghidupkan pembangkit listrik. Ini terbilang modern. Dahulu Haji Bedu menggunakan lampu petromaks sebagai penerang saat memancing ikan di bawah bagan apung. Seiring perkembangan zaman, kini ia menggunakan berbagai jenis lampu listrik.

Lantaran itulah, biaya kegiatan pencarian ikan menjadi lebih mahal. Paling tidak, ia harus menyediakan uang hingga Rp 200 ribu per hari. Walau demikian, Haji Bedu harus memilih cara terakhir. Apalagi ia meyakini bahwa cahaya dari lampu listrik bakal mengundang banyak plankton. Dan itu artinya akan lebih banyak ikan yang terperangkap jaring.

Setelah jaring diturunkan dan lampu listrik dihidupkan, para sahi harus menunggu saat pengangkatan jaring sekitar empat jam. Dengan begitu, mereka pun memiliki waktu luang untuk bercengkerama bersama teman-teman atau mengaso. Waktu istirahat terasa begitu cepat. Haji Bedu kemudian kembali mengerahkan para sahinya untuk mengangkat jaring.

Ternyata, tak banyak ikan yang didapat Haji Bedu pada putaran pertama. Ia berkeyakinan keadaan ini akibat datangnya muson timur atau musim angin timur. Kendati demikian, dia harus tetap melaut bersama bagan apungnya. Sebab, selain mempertimbangkan nafkah keluarga, Haji Bedu juga harus bertanggung jawab atas penghasilan para sahinya.

Dan setelah ikan-ikan dikumpulkan di loa, para sahi pun kembali menurunkan jaring-jaring ke bawah air. Mereka bersiap-siap menunggu pengangkatan ikan putaran kedua, tentunya dengan komando dari Haji Bedu.

Memang, Haji Bedu termasuk punggawa yang disegani para sahinya. Karena selain merupakan pemilik bagan apung seharga sekitar Rp 100 juta, pria itu juga memiliki keterampilan yang telah teruji. Berbekal pengalaman 40 tahun mengais nafkah di Teluk Bone, ia mampu membaca tanda-tanda alam. Pengetahuan yang diwariskan sang ayah itulah yang membuat dirinya senantiasa berani memasuki laut dan menemukan lokasi-lokasi yang menjadi habitat satwa laut.

Sejatinya, pesisir Teluk Bone adalah tempat bermukimnya para nelayan suku Bugis. Salah satunya adalah perkampungan yang dihuni keluarga Haji Bedu, Kampung Cappa Ujung. Setiap penduduk di kampung yang terletak di Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, bakal memilih laut sebagai tumpuan terakhir hidupnya.

Bahkan, anak-anak usia sekolah pun lebih memilih laut ketimbang bangku sekolah. Bagan apung seakan menjadi sekolah dasar bagi mereka. Kenyataan itu terlihat pula di bagan apung milik Haji Bedu. Beberapa sahinya masih dalam usia sekolah. Mereka lebih memilih menjadi sahi dan terapung di atas bagan apung selama empat bulan hanya untuk upah sekitar Rp 500 ribu. Padahal, risiko yang harus dihadapi terbilang besar.

Adapun dalam semalam, paling tidak para sahi harus mengangkat jaring sebanyak tiga kali. Hasil tangkapan itulah yang langsung dibawa Haji Bedu ke Kampung Cappa Ujung untuk dijual ke para pedagang ikan. Kelak, para pedagang ikan inilah yang akan membawanya ke pasar.

Aktivitas di bagan apung tidak pernah terhenti di satu titik. Bagan apung milik Haji Bedu akan bergerak, terutama ketika dirasakan lokasi itu tidak lagi memberikan banyak ikan. Seiring dengan itu, putaran kehidupan di atas bagan apung tersebut pun terus bergulir. Saat-saat seperti inilah para sahi akan melanjutkan rutinitas tanpa pernah merasakan arti takut. Mereka pun seolah tak pernah menimbang risiko bahaya yang senantiasa mengincar mereka.

Laut dan bagan apung adalah dunia sempit para sahi dengan punggawa sebagai pimpinan adatnya. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun sejak ratusan tahun lampau. Dan dengan penuh ketegaran dan keikhlasan, mereka menjadi bagian dari perjalanan sebuah budaya maritim. Boleh jadi pula, mereka memang tidak mempunyai kesempatan untuk mencoba kehidupan lain.

"Sekolah dasar" maritim milik punggawa Haji Bedu itu adalah pembuka jalan bagi kegiatan kelautan lainnya. Kelak, mereka pun dapat membangun bagan tancap atau menjadi nelayan biasa. Bahkan, mereka pun bisa menjadi bagian dari penyelam-penyelam alam di perairan Teluk Bone yang memang menyediakan kekayaan laut melimpah.(ANS/Syaiful H. Yusuf dan Budi Sukmadianto)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.