Sukses

Tabuhan Jegog dan Eksotisme Jembrana

Ketika tabuh ibing-ibingan terdengar, eksotisme Tingklik Jegog seakan bergerak menjadi erotis. Seorang penari ibing-ibingan memperlihatkan liarnya tetabuhan khas Jembrana ini yang tak lagi sekadar pembuka sebuah acara adat.

Liputan6.com, Jembrana: Pada suatu hari yang cerah di Desa Dangintukadaya. Terdengar alunan musik terompet memecah kesunyian kampung yang dikelilingi hamparan padi menguning. Begitulah cara penduduk desa yang terletak di Kabupaten Jembrana, Bali, menikmati rasa syukur ketika panen padi telah tiba.

Jembrana memang tak pernah lepas dari kesenian rakyatnya. Selain menjadi identitas budaya, kesenian sekaligus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial beragama setiap warga desa. Ini berlangsung sejak dahulu hingga sekarang.

Dan alunan musik tradisional Jegog menjadi pembuka acara menyambut datangnya musim panen besar. Diiringi musik Jegog, empat gadis belia pun berlenggak-lenggok dengan gemulai. Mereka membawakan tari Panyembrana, tarian selamat datang. Tarian ini sekaligus menyimbolkan ketulusan warga desa menerima setiap orang yang hadir. Terlebih, hari itu, mereka larut dalam kebahagiaan atas melimpahnya hasil panen.

Para penari menyuguhkan keelokan dan pesona atraktifnya yang menjadi ciri khas tarian ini. Sementara sekeh atau kelompok pemusik mencoba menunjukkan identitas Jembrana yang sebenarnya. Yakni, tetabuhan Tingklik Jegog.

Adapun Tingklik Jegog memiliki keunikan yang terletak pada instrumennya. Seluruh bahannya terbuat dari bambu. Tingklik menunjukkan paduan bambu pipih dan bumbung bambu dalam ukuran kecil yang berfungsi sebagai rhythm atau melodi dalam musik kontemporer. Sedangkan Jegog merupakan paduan bambu pipih dan bumbung bambu dalam ukuran besar. Ini berfungsi sebagai gong atau bas dalam kesenian modern.

Umumnya, musik Bali menggunakan titi selendro atau pelog. Namun tetabuhan Jegog justru berada di tengah-tengahnya. Kalangan seniman Pulau Dewata menyebutnya wilayah titi laras jegog yang memiliki empat nada, yaitu dong, deng, dung, dan daing. Dua nada terakhir seakan melompat jauh. Mereka menyebutnya ngelangkahi gunung. Nah, dari empat nada unik itulah justru muncul harmonisasi dan riuh-rendah tetabuhan yang sangat dinamis. Bahkan lebih bergemuruh dibandingkan perkusi xylophone yang berkembang di belahan lain dunia.

Pada mulanya Tingklik Jegog muncul di Desa Dangintukadaya di kawasan Tegal Ngoneng, Jembrana, Bali. Musik tradisional ini diciptakan oleh Kiang Geliduh pada tahun 1912. Cucu Kiang Geliduh yang bernama Men Watra menuturkan, sang kakek mewariskan perlengkapan musiknya kepada dirinya. Hanya, ia mengakui tidak terlalu mengerti seluk-beluk Jegog.

Beberapa waktu lalu ada yang meminjam perlengkapan Jegog tersebut. Dan hingga kini, belum dikembalikan. "Yang pasti, meski tidak ada yang memainkannya, Jegog [peninggalan Kiang Geliduh] harus tetap ada di sini," ujar Men Warta, berharap.

Lebih jauh Men Warta mengisahkan, ketika itu, Kiang Geliduh belum menggunakan bambu sebagai bahan baku instrumen Jegog. Namun sang kakek memanfaatkan bilah kayu, seperti instrumen gambang. Selain itu, pencipta Tingklik Jegog tersebut juga belum memikirkan mengenai gending atau komposisi. Disebut tabuh smarandhana pada awalnya.

Tetabuhan Jegog semula hanyalah medium hiburan untuk warga yang tengah nyucuk atau bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia. Maklum, ritmis tetabuhannya dinamis dan bergemuruh. Ini diyakini bisa menjadi penyemangat para warga yang tengah bekerja.

Barulah sekitar tahun 1930-an, seniman Kiang Loka dari Desa Kaliakah memodifikasi bahan baku Tingklik Jegog dari bilah kayu ke bambu. Perkembangan ini seperti dituturkan seorang cucu Kiang Loka, I Ketut Daton. Menurut dia, kesenian rakyat ini kemudian dibuat menjadi lebih berkarakter dan seakan menjadi cerminan pemberontakan warga setempat. Terutama menyikapi jurang pemisah antara raja dan rakyat. Lantaran itulah, karakter komposisinya terkesan mengalir dinamis dan ritmis. Tidak selendro dan tidak pelog.

Seperti halnya kesenian rakyat lain di Bali, Tingklik Jegog juga begitu intim dengan kehidupan beragama. Ikatan religius ini sudah terjadi sejak seorang seniman Jegog mencari bahan baku untuk membuat instrumennya.

Nilai religius inilah yang berlaku hingga sekarang. Dan hari yang ditunggu pun tiba. Para seniman Jegok menyiapkan sebuah sesaji sederhana. Mereka kemudian menentukan hari dewase atau waktu terbaik sebelum memasuki hutan hutan di pinggir desa. Setelah hari baik ditentukan, mereka lalu memilih bambu-bambu yang akan dijadikan instrumen Tingklik Jegog.

Bila semua ketentuan itu tidak dijalani, mereka berkeyakinan tak akan mendapat perangkat musik yang apik dan melahirkan bunyi-bunyian khas Tingklik Jegog. Nuansa agama dalam memproduksi instrumen gamelan bambu tersebut juga berlaku saat sang seniman mulai bekerja. Ketika membentuk sebatang bambu menjadi bambu pipih atau bumbung. Para seniman asal Desa Dangintukadaya pun percaya hanya mereka yang memiliki makatsu atau bakat supranatural tertentu. Jelasnya, merekalah yang bisa membuat alat musik khas Jembrana tersebut.

Ritual-ritual agama itu akan semakin kuat. Terutama ketika sebuah sakee Tingklik Jegog mendapat undangan bermain di sebuah acara. Mereka menyiapkan bebanten (sesaji) lengkap, seperti pejati, peras ajengan, dan segehan agung. Sesaji lengkap ini merupakan medium pendekatan diri kepada Sang Hyang Widi. Terutama untuk memohon keselamatan dan kesuksesan pementasan nanti.

Setelah segala persembahan siap, pemangku adat membawanya ke sebuah altar di tempat penyimpanan instrumen Tingklik Jegog yang disebut taksu. Pemangku adat lalu menghidangkan banten, tirta, serta beras atau wiji. Selanjutnya, tirta dan beras disiramkan ke ukiran berbentuk raksasa yang disebut rangda. Mereka percaya, rangda-lah yang melindungi instrumen ini. Termasuk membuat seluruh pertunjukan Tingklik Jegog tampak menawan.

Para penabuh Tingklik Jegog atau juru gamel juga mendapat siraman tirta dan wiji. Ini bertujuan agar para penabuh yang memakai pakaian merah dan ikat kepala khas Bali itu bisa mempertontonkan keahliannya secara optimal. Tanpa diganggu oleh pihak mana pun.

Sementara tabuh teruntungan merupakan musik pembuka pada sebuah pagelaran. Musik ini mencoba menyapa penonton yang berkeinginan menikmati keindahan ritmisnya, tentunya melalui bahasa musik.

Dan ketika tabuh ibing-ibingan terdengar, eksotisme Tingklik Jegog seakan bergerak menjadi erotis. Seorang penari ibing-ibingan memperlihatkan liarnya tetabuhan khas Jembrana ini yang tak lagi sekadar pengiring atau pembuka sebuah acara adat. Akan tetapi, tarian ini lebih menjadi cerminan adanya sebuah interaksi hiburan antara pemusik, penari, dan penonton yang melingkari arena acara.

Memang, Tingklik Jegok adalah sebuah kesenian yang sudah mendarah daging bagi setiap warga desa di Jembrana. Tak mengherankan, bila kesenian ini bukan hanya milik kalangan orang dewasa. Anak-anak usia sekolah pun sudah mengenali eksotisme tabuh ibing-ibingan tersebut.

Dinamisme tetabuhan Jegog makin terasa ketika kesenian ini digelar dalam sebuah pertarungan antar-Jegog. Warga Jembrana menyebutnya jegog mebarung. Tabuh teruntungan dalam mebarung ini dimainkan oleh dua atau tiga kelompok tetabuhan jegog. Acara ini biasanya digelar sebagai ungkapan syukur warga di sebuah desa.

Sebagai pembuka, kedua kelompok tetabuhan jegog memainkan tetabuhan teruntungan sebagai ungkapan hormat dan terima kasih kepada penonton. Dan yang menjadi klimaks jegog mebarung ini adalah ketika kedua kelompok ini memainkan musik sekeras-kerasnya, untuk memuaskan penonton. Terlebih ketika aksi para sekeh memukul bambu-bambu secara atraktif hingga menimbulkan bunyi berdentam.

Biasanya, para penonton yang menjadi juri dalam mebarung ini. Mereka bakal menyemangati sebuah kelompok yang dianggap memainkan tetabuhan jegog secara atraktif, dinamis, dan tentu saja terdengar sangat keras. Walau begitu, hitungan keindahan komposisi tetap harus dikedepankan. Sedangkan hadiah yang didapat dari jegog mebarung adalah kebanggaan.

Mereka tidak lagi berpikir tentang materi, tapi kebanggaan kelompok atau desa menjadi segala-galanya. Terutama sewaktu penonton memberi aplaus secara berlebihan. Bagi mereka, inilah roh tetabuhan jegog yang sangat mendambakan kebahagiaan dan kesamaan kelas di tengah masyarakat. Tanpa ada gap atau kesenjangan karena kasta atau status sosial.(ANS/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini