Sukses

Kajali Puluhan Tahun Menekuni Wayang Garing

Kajali telah 35 tahun melakoni wayang garing, wayang kulit tanpa gamelan dan pesinden. Kajali hidup sederhana. Wayang garing atau kering dipercaya warisan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam.

Liputan6.com, Serang: Penggemar wayang kulit barangkali sukar membayangkan pergelaran ini tanpa iringan gamelan, pesinden, dan hanya mengandalkan dalang. Tapi Kajali, pedalang tua, bertahan menghidupkan kesenian ini hanya menggunakan suara semata. Inilah wayang garing. Sebuah kesenian tradisional yang masih hidup dan bertahan di Kabupatan Serang, Banten. Warga setempat menamakan garing karena pertunjukannya memang terasa kering.

Meski begitu, Kajali tidak peduli. Di berbagai acara, Kajali tetap memainkan wayang-wayang warisan Manasik, gurunya. Hanya terdengar suara Kajali yang mengantarkan cerita. Sesekali ia menyuarakan musik pelog dan ketukan-ketukan cempala serta kecrek. Hampir 35 tahun lelaki tua ini bertahan menggeluti kesenian ini. Tepatnya di hadapan penduduk yang masih meminati kesenian berbahasa Jawa Serang ini.

Kajali lahir dan dibesarkan di Kampung Wadgalih, Desa Mendaya, sekitar 25 kilometer dari Kota Serang. Walau telah menikah dengan Adiyah dan memiliki lima putra, Kajali memilih tinggal di desanya. Tak heran bila seluruh warga kampung mengenal nama dan pekerjaannya sebagai dalang garing. Selama hampir 60 tahun ia hidup sederhana dan memutuskan mendedikasikan hidup untuk wayang garing. Inilah risiko atas pilihannya!

Kajali mulai menekuni kesenian pada 1958. Namun secara profesional memilih hidup dari bidang ini sejak 1964. Mulanya ia menjadi penabuh gambang. Seiring waktu, ia memutuskan belajar mendalang dari Madasik. Kajali menyatakan sempat harus menentukan pilihan tersulit setelah gurunya meninggal dunia. Di satu sisi, ia begitu mencintai profesi mendalang. Sedangkan di sisi lain, Kajali tak lagi memiliki instrumen musik. Pasalnya, seluruh perlengkapan kerawitan yang biasa dimainkan Madasik diminta sang pemilik. Kajali mengaku saat itu merasa sendiri.

Meski demikian, fase sulit berhasil dilewati. Pada dasawarsa 70-an, Kajali mengungkapkan menerima petunjuk dari gurunya untuk mendalang tanpa nayaga dan pesinden. Sebagai orang yang dekat dengan pandangan-pandangan mistis sejak terjun ke seni, ia tentu percaya akan wangsit itu. Ia kemudian memberanikan diri menggelar wayang kulit ini. Mulanya ia menyebut dirinya sebagai dalang tunggal. Tapi penonton yang merasa garing karena banyak ruang kosong yang tak terisi musik dan nyanyian lalu menyebutnya sebagai dalang wayang garing.

Tak hanya sekali Kajali didatangi Madasik. Ia juga sempat mengadakan sebuah acara saweran setelah malamnya didatangi gurunya. Madasik meminta mengeluarkan sedikit uang untuk kesuksesan pekerjaan. Kajali percaya permintaan itu adalah amanat yang harus dipenuhi. Suatu sore menjelang meninggalkan rumah, acara ini pun digelar.

Sebagai kesenian tradisi, Kajali percaya ada prosesi ruwatan yang harus dijalani. Ia menuturkan salah satu cara melakukan ruwatan adalah membaca kitab kuno tentang perjalanan hidup seorang penyebar agama Islam, Syekh Abdul Qadir Jaelani. Untuk melengkapi ritual, satu sesaji ala kadarnya juga dihidangkan.

Kini meski terpinggirkan, wayang garing sebenarnya masih mendapat tempat di hati warga Banten. Mereka yakin kesenian yang dikembangkan Kajali adalah warisan Sunan Kalijaga, salah seorang wali songo. Sunan Kalijaga dipercaya warga menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya pada abad XVII.

Bahkan bila tersiar kabar ada pergelaran wayang garing di suatu tempat, masyarakat tak keberatan untuk bersama-sama mendirikan panggung. Solidaritas ini terlihat saat seorang pemilik rumah merayakan khitanan untuk putranya dengan mengundang Kajali.

Malamnya Kajali memainkan lakon Bambang Jaka Trewelu yang mengisahkan keinginan Dawala atau Petruk untuk menjadi raja. Seperti wayang kulit di daerah lain, wayang garing juga memainkan semua tokoh Mahabrata dan Semar serta putra-putranya. Seorang diri Kajali menghibur penonton dengan memainkan wayang usangnya.

Menurut Kajali, ia hafal sekitar 100 macam cerita. Cerita yang didapat dari gurunya tak ragu diperlihatkan kepada orang banyak. Ia juga tak merasa jengah dengan bentuk dan rupa wayangnya yang kusam. Selain itu, Kajali tak ambil pusing meski berbagai kesenian modern terus menggilas seni tradisi dan merampas sebagian besar nafkahnya. Selama 35 tahun menangguk suka duka, Kajali setia pada profesi.

Ia juga kerap mendapat peluang mendalang lewat sebuah radio. Dengan bercuap-cuap, Kajali lalu menyajikan epos Mahabarata, kisah Ramayana hingga babad Banten. Kajali masih bersyukur kesenian tradisional kini mulai menembus ruang tak terbatas.

Sadar akan hasil mendalang yang tak seberapa, Kajali mencoba bertahan hidup dengan menjadi buruh tani. Walau upah tak seberapa, Kajali tetap menekuni pekerjaan sampingan ini untuk sekadar memenuhi nafkah keluarga.

Hingga kini Kajali terus setia menjadi pedalang. Dengan sepeda tua, ia mendatangi satu desa ke desa lain untuk mempertunjukkan kebolehan. Ia tak peduli seberapa jauh dan penat harus melewati jalan-jalan berkerikil. Yang ia tahu ketika sepeda tua miliknya singgah di sebuah tempat hajat, maka ia harus menyiapkan sebuah cerita dan melakukan monolog semampu-mampunya. Ia juga tak ambil pusing apakah penonton memperhatikan atau menikmati suguhan lakonnya.

Kajali tetap Kajali. Dengan kepapaan dan kesederhanaan hidup, ia tidak berhenti mengarungi hidup tanpa pernah berpikir tentang nasib wayang garing. Tapi Kajali terus berjuang dengan sekarung wayang kulit untuk memperlihatkan sebuah kesenian tradisional yang berada di ambang kepunahan.(MAK/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.