Sukses

&quotSemut-Semut" di Kehidupan Petani Tebu

Nasib para petani tebu dan buruh pabrik gula seakan terombang-ambing antara kerakusan pedagang dan ancaman gula impor. Mereka kerap tak merasakan manisnya harga gula pasir yang melambung.

Liputan6.com, Cirebon: Harga gula pasir melambung di pasaran dalam negeri. Kendati demikian, sejak setahun terakhir, sebagian besar petani tebu justru tak menikmati "manisnya" harga gula pasir. Kenaikan harga gula juga melahirkan kegalauan di kalangan petani maupun buruh pabrik tebu. Nasib mereka terombang-ambing antara kerakusan pedagang dan ancaman gula impor.

Tengok saja, penantian sekitar 2.400 petani tebu dan ribuan buruh lepasnya di kawasan Sindanglaut, sebelah tenggara Kota Cirebon, Jawa Barat. Semenjak penghujung April silam, mereka mulai mendambakan hasil panen dari hamparan hijau tanaman tebu seluas 2.400 hektare. Penantian tersebut juga dialami Sahuri bin Rasmad. Hampir setahun lewat, petani tebu asal Desa Sindanglaut ini memeras keringat di lahan tebunya. Wajarlah, bila ia berharap masa panen pada awal Juni mendatang adalah dambaan menuai jerih-payah.

Pada tahun ini, usia Sahuri persis 67 tahun. Semula, ia hanyalah petani biasa yang cuma mengandalkan hidup pada satu bau atau sekitar 7.000 meter persegi lahan pertanian untuk ditanami padi. Ketika aroma keuntungan berembus dari lahan-lahan tebu di kawasan Sindanglaut, ia pun memutuskan mengalihkan diri menjadi petani tebu pada 1977. Terlebih lagi, leluhurnya adalah petani tebu.

Akhir 1970-an, Sahuri sempat merasakan manisnya harga tebu. Persis, ketika harga jual ke pabrik setara 2,4 kali harga gabah seperti yang ditetapkan pemerintah. Manisnya harga jual tebu ini pula yang membimbing Raswid bin Darim untuk memilih profesi sebagai petani tebu. Dulu, Raswid adalah karyawan di Pelabuhan Cirebon. Lantas, ia menyewa lahan seharga Rp 2 juta per hektare sebagai modal awal ladang tebunya.

Berbeda dengan Sahuri yang memiliki lahan, Raswid hanya menyewa lahan tebu. Dua jenis petani ini berbaur menjadi bagian sekitar 2.400 petani tebu di kawasan Sindanglaut. Mereka menjadi bagian dari Pabrik Gula Sindanglaut milik PT Rajawali Nusantara Indonesia II, sekaligus bagian dari tata niaga komoditas gula di Tanah Air.

Sebagai bagian dari pabrik, mereka memperoleh bibit dan peluang mendapat Kredit Ketahanan Pangan dari bank. Dengan modal bibit dan pinjaman itulah, para petani menggarap lahan tebunya sejak pembersihan lahan hingga menuai batang-batang tebu. Untuk satu hektare lahan, seorang petani tebu mendapat pinjaman Rp 7,5 juta, sesuai harga perkiraan produksi.

Kelak, saat masa panen tiba, pinjaman itu harus dikembalikan melalui hasil jual tebu yang telah diolah pabrik. Seorang petani tebu memperoleh bagian 66 persen dari gula pasir olahan batang tebunya. Sedikit tambahan didapat dari tetes tebu yang sekitar 2,5 persen dari setiap 100 kilogram batang tebu.

Namun, ketika harga gula tiba-tiba meroket ke kisaran Rp 5.000 hingga Rp 6.000 rupiah, para petani seperti Sahuri atau Raswid hanya bisa mengelus dada. Mereka sama sekali tak menikmati lonjakan harga itu. Soalnya, seperti lazimnya petani tebu lainnya, gula dari olahan tebu mereka telah terjual pada masa panen tahun silam. Sedangkan saat ini mereka sama sekali tak menyimpan persediaan gula.

Pabrik gula semacam PG Sindanglaut ini pun hanya menjalankan mesin produksinya pada masa musim panen. Di luar masa panen, sekitar 300 karyawannya hanya merawat mesin-mesin produksi. Terhentinya mesin produksi ini membuat sekitar 700 orang buruh lepas dan sekitar 1.000 orang buruh tebang-angkutnya harus melirik profesi lain. Satu di antara pilihan menjadi buruh lepas di lahan-lahan tebu milik petani.

Buruh lepas semacam kurdi, misalnya. Kurdi pun sangat tak menikmati manisnya rasa gula. Upah mereka hanya Rp 12 ribu per hari atau separuh dari harga gula sekarang. Orang semacam Kurdi inilah yang sama sekali tak tersentuh oleh pergolakan harga gula di pasaran.

Sementara bagi petani tebu seperti Sahuri dan Raswid, saat panen yang telah di depan mata seakan menjadi kesempatan meraih impian. Namun, ketika harga jual gula melonjak tak menentu, mereka justru menjadi resah.

Soalnya, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Cabang Cirebon Anwar Asmali malah mengisyaratkan dugaan pihak distributor akan mempermainkan nasib mereka. Karena itu, sebelum batang tebu dituai dan mesin-mesin di pabrik dihidupkan, mereka hanya berharap pemerintah segera menuntaskan kegentingan harga jual gula itu. Mereka hanya bermimpi harga jual gula stabil dan relatif lebih tinggi ketimbang biaya produksi yang Rp 3.200 per kilogram. Dengan begitu, ada sedikit keuntungan yang bisa diraih. Dan, masyarakat bisa menikimati manisnya gula dengan harga terjangkau.(ANS/Syaiful Halim dan Satya Pandia)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini