Sukses

Pro-kontra Hakim Massa Terhadap Penjahat

Dalam dua tahun terakhir ini, aksi hakim massa kian meningkat. Ini perlu dikurangi karena langkah tersebut melanggar tatanan hukum dan hak asasi manusia. Pengeroyokan penjahat adalah budaya masyarakat Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta: Dalam dua tahun terakhir ini, kemarahan massa terhadap pelaku kriminal semakin memuncak. Ini tak lain karena tingkat kejahatan yang dianggap sudah melewati ambang batas kesabaran. Selain itu, aksi tersebut juga sebagai dampak dari kepolisian yang dinilai kurang sigap. Akibatnya, tak sedikit para penjahat yang tewas mengenaskan akibat dihakimi massa. Kendati begitu, langkah ini tetap menyalahi tatanan hukum yang ada dan melanggar hak asasi manusia. Karena itu, diperlukan sebuah solusi untuk mengurangi fenomena street justice atau pengadilan jalanan yang mawabah. Misalnya, dengan membangun kesadaran masyarakat serta ketegasan aparat keamanan dalam penegakan hukum.

Memang, luapan kemarahan massa itu telah terjadi sejak 1960-an. Street Justice kembali mencuat dalam dua tahun belakangan ini. Seperti yang terjadi di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten, baru-baru ini. Saat itu, empat kawanan perampok tertangkap massa saat menggasak PT Citra Lintas Kemas. Mereka langsung dihajar dan dua di antaranya tewas [baca: Dua Perampok Tewas Dihakimi Massa].

Di wilayah hukum Tangerang, Banten, tercatat sebanyak 54 kasus kejahatan berujung pada tewasnya para pelaku yang dihakimi warga. Angka itu belum ditambah dari Bekasi, Jawa Barat, yang dikenal sebagai wilayah rawan pengeroyokan. Bahkan, dalam empat pekan terakhir, di Ibu Kota, empat penjahat mati bersimbah darah setelah dihajar massa. Satu di antaranya anggota Kapak Merah [baca: Seorang Perampok Tewas Dihajar Massa].

Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala, dikhawatirkan aksi pengeroyokan penjahat itu adalah budaya masyarakat Indonesia. Karena itu, tak perlu terburu-buru untuk menghapus atau menghilangkannya. Tapi, memang perlu dicari jalan keluar supaya tak lebih banyak korban hakim massa itu.

Sementara di tengah masyarakat, aksi massa tersebut juga menimbulkan prokontra. Tentu dengan berbagai alasan. Warto, misalnya. Dia menyetujui langkah masyarakat tadi. Dengan begitu, diharapkan tindak kejahatan tak semakin merajalela dan bisa memberikan pelajaran bagi para penjahat lainnya. Berbeda dengan Warto, Rusmiati yang mengaku pernah menjadi korban penjambretan tak setuju atas aksi massa tersebut. Rusmiati cenderung menyerahkan penjahat itu kepada polisi. "Buat apa ada polisi," kata Rusmiati.(DEN/Syaiful Halim dan Zakaria)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini